TRAFFIC Logo

 

White-lipped Tree-frogs Nyctimystes infrafrenatus: Indonesia's Captive Breeding Production Plan sets a quota 67 times higher than the animal's reproductive rate © Photowitch/Dreamstime.com

White-lipped Tree-frogs Nyctimystes infrafrenatus: Indonesia's Captive Breeding Production Plan sets a quota 67 times higher than the animal's reproductive rate © Photowitch/Dreamstime.com

i

Published 3 July 2017

Flawed Indonesian captive breeding plan facilitates wildlife laundering

Jakarta, Indonesia, 3rd July 2017—A new study has questioned the validity of Indonesia’s  plan that allowed breeders to produce over four million animals in captivity for trade in 2016.


The Captive Breeding Production Plan (CBPP) establishes quotas for the species and number of mammals, reptiles and amphibians that can be bred by licenced commercial breeding farms in the country.  

For 2016, the Plan applied to 13 captive breeding facilities, 129 mammal, reptile and amphibian species with a total of 4,273,029 animals to be produced through captive breeding. 

However, a critical scrutiny of the Plan published today in Conservation Biology finds major flaws that permit the laundering of wild-caught animals into legal trade through falsely claiming they have been captive-bred. 

Among the flaws highlighted in Biological parameters used in setting captive breeding quota for Indonesia’s breeding facilities, is the exaggerated inflation of the breeding capabilities of many animals—for one frog species the Plan sets a quota 67 times higher than the animal would have been able to produce naturally.

Researchers even found that quotas had been set for two species where no breeding stock was present in any of the country’s registered breeding facilities, nor did some quotas take into account how difficult it was to breed certain species in captivity.

In the case of 38 species, the Plan allowed for the production of more animals than the authorities’ own calculations said was possible, the study reported. 

“Until these shortcomings have been fixed, Indonesian mammals, reptiles and amphibians declared as captive-bred cannot be assumed to be so, as they may have been sourced from the wild,” the study’s authors conclude.

Researchers compared the biological parameters used in the CBPP against information gathered from over 200 published sources. Comparison was also made against information in a database on species life histories and species experts for all 129 species including how often species bred, and clutch or litter sizes.  

The study found that Indonesia’s captive breeding quotas for 21 mammal species, 38 reptile species and two amphibian species were unrealistically high. For these mammals, quotas were set up to nine times higher than would be realistically possible, up to five times higher for the reptiles and up to 67 times higher for the amphibians. 

For example, according to the Plan, the Red-eyed Crocodile Skink Tribolonotus gracilis can produce five to 12 eggs, twice a year, but published information reports only a maximum of six eggs a year.

It is essential for countries to have such plans to regulate commercial captive breeding, but they must have a sound scientific basis and use accurate calculations

Serene Chng, co-author and Programme Officer for TRAFFIC in Southeast Asia“The plan’s numbers are far higher than breeding facilities can realistically produce. The resulting gaps can easily be exploited by unscrupulous traders to launder wild-sourced animals through breeding facilities. This undermines legitimate breeders and increases pressure on wildlife already threatened by poaching and illegal trade,” Chng added.

At least 75 of the species in the Plan are listed in the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) which allows captive breeding of some species for international trade.

CITES has recognized the misdeclaration of wild species as captive bred as a problem and has put in place a regulatory mechanism to flag cases of suspected captive breeding fraud. The mechanism is expected to be used for the first time in its Animals Committee meeting later this month.

“The questions raised by this analysis should be a real concern for countries importing wildlife labelled as captive bred from Indonesia and for the credibility of commercial captive breeding as a whole,” said Kanitha Krishnasamy, Senior Programme Manager for TRAFFIC in Southeast Asia. 

The study recommends the Indonesian Government adjust the Plan to include all relevant factors influencing breeding success and for projections to be biologically realistic. Quotas for species for which no breeding stock is available need to be withdrawn. Regular, unannounced inspections and audits of breeding facilities also should be conducted to ensure that reported numbers match up in reality.

bahasa indoesia

Transaksi ilegal satwa liar: dampak lemahnya regulasi penangkaran di Indonesia

Jakarta, Indonesia, 3 Juli 2017—Sebuah penelitan terbaru mempertanyakan validitas regulasi Indonesia yang mengizinkan penangkar memproduksi lebih dari empat juta satwa di penangkaran untuk diperjualbelikan selama 2016.

Rencana Produksi Reptil, Amphibi Dan Mamalia (RAM) Pet Hasil Penangkaran Tahun 2016 menetapkan kuota untuk beberapa jenis mamalia, reptil dan amfibi yang dapat dikembangbiakan oleh penangkaran yang berlisensi di Indonesia.

Sepanjang tahun 2016, RAM tersebut diterapkan pada 13 fasilitas penangkaran terhadap 129 jenis mamalia, reptil, dan amfibi dengan jumlah sebanyak 4.273.029 ekor satwa yang dikembangbiakan melalui penangkaran.

Namun, sebuah penelaahan kritis terhadap RAM tersebut, yang hari ini dipublikasikan oleh Conservation Biology, menemukan sebuah kelemahan utama yang dapat menyebabkan perdagangan satwa liar secara legal dengan klaim bahwa satwa-satwa tersebut adalah hasil penangkaran.

Salah satu kelemahan yang digarisbawahi dalam Penggunaan Parameter Biologi untuk pengaturan kuota satwa di fasilitas penangkaran Indonesia adalah kemampuan berkembang biak dari banyak satwa yang dibesar-besarkan—salah satu spesies katak diberikan kuota sampai 67 kali lipat dari kemampuan perkembangbiakan alaminya.

Para peneliti bahkan menemukan 2 kuota spesies yang tidak satu pun stoknya terdapat di seluruh fasilitas penangkaran yang terdaftar di Indonesia, dan beberapa kuota pun tidak mempertimbangkan betapa sulitnya mengembangbiakan spesies tertentu dalam penangkaran.

Dalam kasus 38 jenis satwa, RAM mengizinkan untuk memproduksi lebih banyak satwa, bahkan lebih dari jumlah yang mungkin diproduksi menurut perhitungan pemerintah.

“Sampai kelemahan-kelemahan ini dibenahi, mamalia, reptil, dan amfibi Indonesia yang dinyatakan sebagai hasil penangkaran tidak dapat diasumsikan seperti itu, karena mungkin saja satwa tersebut berasal dari alam,” peneliti menyimpulkan.

Para peneliti membandingkan parameter biologis yang digunakan dalam RAM dengan informasi yang berdasarkan lebih dari 200 sumber yang dipublikasikan. Perbandingan juga dilakukan dengan basis data sejarah kehidupan spesies dan pendapat para ahli untuk seluruh 129 spesies, termasuk seberapa sering jenis satwa tersebut berkembang biak, ukuran sarang, dan kotorannya.

Studi ini menemukan bahwa kuota penangkaran di Indonesia untuk 21 jenis mamalia, 38 jenis reptil dan dua amfibi sangatlah tidak realistis. Untuk mamalia, kuotanya ditetapkan sampai sembilan kali lebih tinggi, lima kali lebih tinggi untuk reptil, dan 67 kali untuk amfibi dari jumlah yang secara realistis dapat dicapai.

Sebagai contoh, menurut RAM, Kadal Duri (Tribolonotus gracilis) dapat menghasilkan lima sampai 12 telur, dua kali dalam setahun, padahal dalam informasi terpublikasi, jenis tersebut hanya dapat menghasilkan 6 telur per tahun.
“Sangatlah penting bagi banyak negara untuk mempunyai regulasi semacam ini untuk mengatur penangkaran komersial, tetapi regulasi tersebut harus berdasarkan ilmu pengetahuan dan penghitungan yang akurat,” ujar Serene Chng, penulis, dan penanggung jawab program TRAFFIC di Asia Tenggara.

“Jumlah yang ada dalam RAM jauh lebih tinggi dari kapasitas produksi realistis sebuah penangkaran. Celah yang terjadi dapat dengan mudah dieksploitasi oleh oknum pedagang untuk menjual satwa liar melalui penangkaran.

Hal ini melemahkan penangkar resmi dan meningkatkan tekanan pada satwa yang telah terancam oleh perburuan liar dan perdagangan illegal” Chng menambahkan.

Setidaknya 75 jenis satwa yang tercantum dalam RAM terdaftar dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) sebagai satwa hasil penangkaran yang diizinkan untuk diperjualbelikan secara internasional.

CITES telah mengakui kesalahan dan masalah pada satwa liar sebagai satwa penangkaran. Mereka pun telah membuat mekanisme yang mengatur pelaporan kasus yang dicurigai sebagai penyalahgunaan penangkaran. Mekanisme ini diharapkan dapat dipergunakan untuk pertama kalinya dalam pertemuan Animals Committee akhir bulan ini.

“Pertanyaan yang diangkat oleh analisis ini seharusnya menjadi perhatian nyata bagi negara-negara pengimpor satwa liar berlabel hasil penangkaran dari Indonesia dan bagi kredibilitas penangkaran komersial secara keseluruhan,” ujar Kanitha Krishnasamy, penanggung jawab senior program TRAFFIC di Asia Tenggara.

Penelitian ini merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan RAM tersebut dengan mempertimbangkan semua faktor terkait yang mempengaruhi kesuksesan penangkaran dan untuk proyeksi yang realistis secara biologis. Kuota-kuota untuk spesies yang tidak mempunyai stok penangkaran harus ditarik.

Inspeksi mendadak dan audit fasilitas penangkaran secara reguler juga harus dilaksanakan untuk memastikan bahwa jumlah satwa yang dilaporkan sesuai dengan kenyataan.

Selesai.